(Sumber: Detik.com)
Sebelas bulan sebelum pemilihan
umum, Presiden Joko Widodo meresmikan Bandara Kertajati, tepatnya pada 24 Mei
2018 lalu. Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) ini merupakan bandara
terbesar kedua setelah Bandara Soekarno-Hatta.
Sayangnya, saat ini kondisi BIJB
makin sepi dan memprihatinkan. Dari 11 rute yang sebelumnya ada, kini hanya
satu rute yang beroperasi. Tingkat okupansinya pun di bawah 30%. Pengamat
menilai, pembangunan bandara ini tidak melalui perencanaan yang matang dan
mengabaikan aspek ekonomi.
Tertunda
Ide pembangunan BIJB konon sudah
cukup lama digagas, yakni sejak 2003. Saat itu, pengusaha dari Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) Jawa Barat (Jabar) berharap agar ada bandara di Jabar bagian
utara. Hal ini dinilai perlu untuk mengurangi beban dan padatnya penerbangan di
Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Apalagi, jumlah penduduk Provinsi Jabar
masih terus menjadi yang tertinggi secara nasional.
Sementara itu, kegiatan angkutan
udara di Jabar sebagian besar berlangsung di Bandara Husein Sastranegara, yakni
sekitar 80,79 persen. Kemudian sebanyak 4,35 persen berlangsung di Bandara
Cakrabhuwana, Cirebon dan 14,85% di Bandara Nusawiru, Ciamis. (BPS, 2018).
Dalam perjalanannya, proses
pembangunan BIJB Kertajati sempat tertunda beberapa kali. Studi kelayakan untuk
bandara ini sebenarnya sudah ada sejak 2003. Izin penetapan lokasi pun sudah
dilakukan sejak 2005. Saat itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar menyatakan
sanggup mendanai sendiri pembangunan bandara dengan APBD.
Namun, Pemprov Jabar tak kunjung
merealisasikan pembangunan tersebut hingga 2011. Setelah dilakukan peninjauan
ulang, pembangunan bandara ternyata membutuhkan alokasi APBN. Dampaknya, selama
tujuh tahun tidak ada kegiatan fisik apapun dan izin penetapan lokasi pun
hangus.
BIJB Kertajati kemudian
dimasukkan dalam Program Strategis Nasional (PSN). Pembangunan bandara ini baru
dimulai pada 2014 untuk pengerjaan pembersihan lahan dan fondasi. Selanjutnya
pembangunan berlangsung pada 2015 hingga 2017 dengan menggunakan anggaran
Kementerian Perhubungan.
Awalnya terdapat lima rute yang
dilayani oleh BIJB, yakni Kertajati-Denpasar, Kertajati-Surabaya,
Kertajati-Ujung Pandang, Kertajati-Balikpapan, dan Kertajati-Medan. Namun, kini
hanya tersisa satu rute yang masih berjalan, yakni Kertajati-Surabaya.
Dilihat dari tingkat okupansi,
BIJB Kertajati juga terus mengalami penurunan. Menurut Corporate Secretary PT
BIJB Arief Budiman, meski pada Juni-Agustus 2018, tingkat okupansi rata-rata
sebesar 75 persen, kini dalam keadaan low season, tingkat okupansi
berada di bawah angka 30 persen atau sebanyak 180 kursi (detikcom, 2019).
Penurunan jumlah dan tingkat
okupansi signifikan dirasakan sejak Januari 2019 saat kebijakan bagasi berbayar
muncul, dan disusul kenaikan tarif maskapai. Rute Kertajati-Surabaya yang masih
berjalan pun dilayani oleh hanya satu maskapai komersial. Sementara layanan
rute lainnya dibatalkan karena load factor yang tidak
memenuhi.
Sementara itu, pengamat
penerbangan Alvin Lie menilai pembangunan BIJB Kertajati mengabaikan aspek
ekonomi dan memiliki perencanaan yang tidak matang sedari awal. Menurutnya,
pemerintah tidak mempertimbangkan daya tarik masyarakat dan maskapai
penerbangan terhadap BIJB yang akan dibangun.
Aerotropolis
Pemilihan lokasi BIJB yang
terletak di Kecamatan Kertajati, Majalengka nyatanya bukan tanpa alasan.
Menurut Kabid Umum dan Humas Unit Manajemen Proyek PT BIJB Rizkita Tjahjono
Widodo, Majalengka dinilai strategis dengan rencana pemerintah pusat
mengembangkan potensi ekonomi di tiga kawasan di Jabar. Yakni, Ciayumajakuning
(Cirebon, Majalengka, Kuningan, dan Indramayu), Bandung Raya (Bandung, Bandung
Barat, Cimahi, Sumedang), dan Bodebekkarpur (Bogor, Depok, Bekasi, Karawang
Purwakarta.)
Selain itu, Majalengka dianggap
menjadi titik temu banyak daerah pusat ekonomi seperti Jakarta, Bandung,
Karawang. Lokasi ini juga diyakini menjadi pilihan tepat sebagai penghubung
logistik Pelabuhan Muara Jati di Cirebon dan Pelabuhan Patimban di Subang.
Secara geografis, lahan yang
digunakan untuk pembangunan BIJB sebelumnya adalah lahan tadah hujan yang tidak
produktif jika digunakan untuk pertanian dalam jangka panjang. Selain jauh dari
gunung sehingga aman dari asap letusan, lahan ini juga cukup resisten terhadap
gempa bumi dan banjir.
Faktor lain pemilihan Majalengka
adalah alasan pendapatan ekonomi daerah. Secara demografis, Upah Minimum
Regional (UMR) Kabupaten Majalengka tergolong rendah dibanding daerah
sekitarnya. Hingga 2019, Majalengka masih menempati posisi empat terendah
dengan UMK sebesar Rp 1,7 juta. Angka ini cukup timpang dengan UMK tertinggi di
provinsi yang sama, yakni Kabupaten Karawang dengan UMK sebesar Rp 4,2 juta.
Pertimbangan-pertimbangan di atas
juga menjadi alasan BIJB dibangun dengan mengusung aeropolis business concept,
di mana bandara menjadi pusat aktivitas dan perkembangan ekonomi. Menurut
konsep ini, bandara diharapkan mampu menghubungkan konsumen, supplier, dan
perusahaan-perusahaan yang menjadi mitra di seluruh belahan dunia, sehingga
berpeluang mendongkrak perekonomian wilayah sekitarnya.
Beberapa bandara internasional
yang dianggap sudah memenuhi konsep ini antara lain Bandara Internasional
Schiphol Amsterdam di Belanda, Bandara Internasional Dallas Forth Worth di
Amerika Serikat, dan Bandara Internasional Incheon di Korea Selatan.
Bandara Internasional Incheon di
Kota Songdo merupakan salah satu contoh unik aerotropolis, karena pembangunan
bandaranya berbarengan dengan pembangunan Kota Songdo sendiri. Pembangunan
terintegrasi ini berhasil menciptakan sebuah kawasan bisnis skala besar dan
bernuansa internasional yang terhubung langsung dengan bandara. Ini pun tak
lepas dari dukungan modal asing dan teknik investasi dan pembiayaan yang
canggih (Ayuningtyas, 2014:118)
Implementasi aerotropolis di
berbagai belahan dunia secara umum menunjukkan bahwa konsep ini memang mampu
mendongkrak perekonomian suatu wilayah. Lebih jauh, implementasi konsep ini
dapat memperkuat rantai pasokan industri di tingkat regional, nasional, maupun
global. Pemerataan infrastruktur dan kesempatan ekonomi yang tercipta pun bisa
mengurangi urbanisasi. Di sisi lain, untuk dapat mewujudkan konsep ini
dibutuhkan biaya yang sangat besar.
Investasi
BIJB Kertajati dibangun dengan
total biaya sebesar Rp 2,6 triliun. Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 936
miliar berasal dari pihak swasta yang dikumpulkan melalui reksa dana penyertaan
terbatas (RDPT). Maka tidak berlebihan rasanya jika menganggap bandara ini
adalah sebuah investasi.
BIJB Kertajati sejatinya dibangun
dengan harapan mampu menjadi pendongkrak ekonomi wilayah di sekitarnya.
Karenanya, tidak tepat rasanya menganggap bandara ini dibangun tanpa
mempertimbangkan aspek ekonomi. Justru alasan ketimpangan ekonomilah yang
awalnya melatarbelakangi pembangunan bandara ini.
Aksesibilitas dinilai menjadi kunci
utama untuk meningkatkan aktivitas di BIJB Kertajati. Belum rampungnya proyek
Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu) dianggap menjadi salah satu faktor
utama yang menyebabkan sepinya pengguna BIJB. Pasalnya, tol ini nantinya akan
mempersingkat jarak tempuh menuju BIJB bagi masyarakat Jabar, terutama Bandung.
Percepatan pembangunan ruas jalan tol ini kini menjadi salah satu tugas utama
pemerintah dalam rangka pengembangan BIJB.
Dengan adanya Tol Cisumdawu
nantinya, konektivitas antara BIJB Kertajati dan Bandara Husein Sastranegara
pun menjadi lebih terintegrasi. Setelahnya, pemerintah diharapkan dapat lebih
tegas dalam hal kebijakan pengalihan rute pesawat dari Bandara Husein Sastranegara
ke BIJB Kertajati.
Terkait daya tarik, wisata di
wilayah Majalengka sesungguhnya mampu dijadikan sebagai poin tambahan. Sebut
saja Kebun Teh Cipasung, Jembar Waterpark, Curug Cipeteuy, dan Telaga Herang.
Namun, tentu daya tarik ini juga harus didukung dengan aksesibilitas dan
fasilitas yang baik.
Memang, BIJB Kertajati terkesan memiliki
banyak sekali kekurangan dan masih jauh dari konsep aerotropolis yang
diidamkan. Namun, hal ini bukan berarti mustahil untuk diwujudkan. Yang jelas,
BIJB Kertajati masih butuh waktu untuk tumbuh dan berkembang. Dan mungkin,
selain percepatan pembangunan dari sisi aksesibilitas, BIJB juga kini butuh
lebih banyak kepercayaan.
0 komentar:
Post a Comment