Mencermati Neraca Perdagangan Luar Negeri Malut


Oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST

 Staf di Badan Pusat Statistik Prov. Maluku Utara

Mencermati Neraca Perdagangan uar Negeri Malut_malut post 19042018
Mencermati Neraca Perdagangan Luar Negeri Malut




Pada tahun 2017, ekonomi maluku utara (malut) tumbuh sebesar 7,67 %.  Struktur ekonomi malut masih didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan dan kelatan (23,95 %), perdagangan (17,42 %) dan pemerintahan (15,81 %). Namun sektor pertanian justru mencatat laju pertumbuhan paling rendah sebesar 3,16 % sementara laju pertumbahan tertinggi terjadi pada sektor  industri pengolahan  sebesar 32,13 % dan sektor pertambangan sebesar 11,22 %. Hal ini tercermin pula pada ekspor impor provinsi maluku utara tahun 2017.

Neraca Perdagangan Luar Negeri
Neraca perdagangan merupakan nilai ekspor dikurangi nilai impor. Hasilnya, dapat menunjukkan kontribusi langsung dari aktivitas perdagangan bagi pendapatan nasional dan daerah. Surplus ataupun defisit neraca perdagagan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena, selain konsumsi, investasi dan pengeluaran pemerintah, neraca perdagangan merupakan komponen yang mempengaruhi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara dari sisi pengeluaran.
Pada tahun 2017, neraca perdagangan luar negeri malut mengalami surplus sebesar US$ 122,25 juta. Ini merupakan surplus yang pertama kalinya setelah tiga tahun berturut-turut malut mengalami defisit sejak tahun 2014.
Dari sisi impor, perdagangan malut pada tahun 2017 dipengaruhi beberapa kelompok barang seperti kelompok Bahan bakar mineral  serta kelompok Ketel, mesin dan peralatan mekanis. Nilai impor total malut adalah sebesar US$149,89 juta
Namun dari sisi ekspor, perdagangan luar negeri malut hanya didominasi kelompok barang yang berasal dari hasil tambang, yaitu  fero-nikel dan bijih nikel. Kedua komoditas ini bahkan memiliki andil sebesar 99% atau senilai US$271,96 juta dari total nilai ekspor maluku utara di tahun 2017 yang sebesar US$272,09 juta.

Buah Simalakama Pertambangan
            Adanya surplus pada neraca perdagangan luar negeri maluku utara setelah sekian lama defisit, seharusnya menjadi selebrasi jika saja komoditas yang berperan didalamnya adalah komoditas unggulan wilayah, baik dari bidang pertanian maupun perikanan.
   Ironisnya, justru kedua potensi alam dan ekonomi malut tersebut seperti mati pelan-pelan. Komoditas unggulan pertanian seperti kopra tidak lagi diekspor di tahun  2017. Sementara komoditas perikanan pun hampir seluruhnya diekspor melalui provinsi lain. Sehingga potensi terbesar malut hampir tidak menyumbang devisa apapun bagi malut sendiri.
Sektor pertambangan, selama ini dinilai sebagai sektor yang memiliki andil kesejahteraan paling sedikit terhadap masyarakat sekitarnya. Banyak tercatat kasus sengketa lahan antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat sekitar.  Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pun ditolak masyarakat karena deforestasi dan sumber air maupun lahan hilang.
Namun kini, pertambangan malah menjadi katrol utama bagi nilai ekspor malut. Tidak main-main, nilainya bahkan bisa membuat total ekspor malut tahun 2017 meningkat 680,42 % dari tahun 2016. Bagaikan buah simalakama yang enggan dibuang namun mematikan jika dimakan terus-terusan.
Cengkraman bidang pertambangan yang  kuat juga tidak terlepas dari adanya sokongan lembaga keuangan, utamanya bank, dalam memberikan dana ke perusahaan tambang. Hal ini juga didukung lemahnya regulasi pemerintah daerah dalam kebijakan penanggungulangan alam wilayah pertambangan selama ini.
Bahkan jika melihat komoditas impor, sebagian daripadanya merupakan komoditas yang digunakan dalam kegiatan pertambangan di wilayah malut. Hal ini seakan memberi kesan bahwa pertambangan adalah bidang paling berpengaruh dalam neraca perdagangan luar negeri malut.

Potensi harus didukung Aksi
            Bicara tentang potensi malut pada bidang pertanian, komoditas kopra adalah salah satu yang harus kita perhatikan. Pada  tahun ini, kopra tidak lagi diekspor ke luar negri karena eksportir memilih menghentikan aktifitasnya. Alasan utama nya adalah karena kualitas kopra malut dianggap belum memenuhi persyaratan  pasar dunia. Usia buah kelapa yang terlalu muda dan cara petani tradisional dalam memproduksi kopra membuat kualitas produknya turun (Arianti, 2017).
Sementara di bidang perikanan, penggalakan ekspor ikan langsung dari malut, sudah dimulai melalui dua pelabuhan utama di Ternate dan Tobelo pada oktober tahun lalu. Hal ini diharapkan makin intensif dilakukan melalui kerjasama pemerintah daerah malut dengan dinas terkait. Pengusaha kecil pun harus terus didorong untuk mau dan mampu memasarkan hasil lautnya langsung dari malut.

Malut sebagai provinsi kepulauan dengan potensi alam melimpah, layaknya mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk pembangunan wilayah. Potensi yang ada memang tidak bisa mentah-mentah kita manfaatkan. Butuh aksi nyata pendukung yang kontinyu, baik dari pemerintah maupun dinas terkait agar potensi malut tidak terus-terusan menjadi hanya sekedar potensi. (*)





*Telah dipublikasikan di harian Malut Post Edisi Kamis, 19 April 2018 




artikel lainnya yang telah dipublikasikan media:


 

Thank You for Reading My Blog!

Kalau tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke siapapun yang kalian pikir perlu ikut membaca :)

Comments

    Blogger Comment

0 komentar:

Post a Comment