Staf di Badan Pusat Statistik Prov.
Maluku Utara
|
Mencermati Neraca Perdagangan Luar Negeri Malut |
Pada tahun 2017, ekonomi maluku utara (malut) tumbuh
sebesar 7,67 %.
Struktur ekonomi malut masih
didominasi oleh sektor pertanian, kehutanan dan kelatan (23,95 %), perdagangan (17,42 %) dan pemerintahan
(15,81 %).
Namun sektor pertanian justru mencatat laju pertumbuhan paling rendah sebesar
3,16 % sementara laju pertumbahan tertinggi terjadi pada sektor industri pengolahan sebesar 32,13 % dan
sektor pertambangan sebesar 11,22 %. Hal ini tercermin pula pada ekspor impor provinsi maluku
utara tahun 2017.
Neraca Perdagangan Luar Negeri
Neraca perdagangan merupakan nilai ekspor dikurangi nilai impor.
Hasilnya, dapat menunjukkan kontribusi langsung dari aktivitas perdagangan bagi
pendapatan nasional dan daerah. Surplus ataupun defisit neraca perdagagan akan
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Karena, selain konsumsi, investasi dan
pengeluaran pemerintah, neraca perdagangan merupakan komponen yang mempengaruhi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Maluku Utara dari sisi pengeluaran.
Pada tahun 2017, neraca perdagangan luar negeri malut mengalami surplus
sebesar US$ 122,25 juta. Ini merupakan surplus yang pertama kalinya setelah tiga
tahun berturut-turut malut mengalami defisit sejak tahun 2014.
Dari sisi impor, perdagangan malut pada tahun 2017 dipengaruhi beberapa kelompok barang seperti
kelompok Bahan bakar mineral serta kelompok Ketel, mesin dan peralatan mekanis.
Nilai impor total
malut adalah sebesar US$149,89 juta
Namun dari sisi ekspor, perdagangan luar negeri malut
hanya didominasi kelompok barang yang
berasal dari hasil tambang, yaitu fero-nikel dan bijih
nikel. Kedua komoditas ini bahkan memiliki andil sebesar 99% atau senilai US$271,96
juta dari total nilai ekspor maluku utara di tahun 2017 yang sebesar US$272,09
juta.
Buah Simalakama Pertambangan
Adanya
surplus pada neraca perdagangan luar negeri maluku utara setelah
sekian lama defisit, seharusnya menjadi selebrasi jika saja komoditas yang
berperan
didalamnya adalah komoditas
unggulan wilayah, baik dari bidang pertanian maupun perikanan.
Ironisnya, justru
kedua potensi alam dan ekonomi malut tersebut seperti mati pelan-pelan. Komoditas unggulan pertanian seperti
kopra tidak
lagi diekspor di tahun 2017.
Sementara komoditas perikanan
pun hampir seluruhnya diekspor melalui provinsi lain. Sehingga potensi terbesar malut
hampir tidak menyumbang devisa apapun bagi malut
sendiri.
Sektor pertambangan, selama ini dinilai sebagai sektor yang memiliki andil kesejahteraan paling sedikit terhadap masyarakat sekitarnya. Banyak tercatat
kasus sengketa lahan antara perusahaan pertambangan dengan masyarakat sekitar. Dokumen
analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pun ditolak masyarakat karena
deforestasi dan sumber air maupun lahan hilang.
Namun kini, pertambangan malah menjadi katrol utama
bagi nilai ekspor malut. Tidak main-main, nilainya bahkan bisa membuat total
ekspor malut tahun 2017 meningkat 680,42 % dari tahun 2016. Bagaikan buah simalakama yang enggan
dibuang namun mematikan jika dimakan terus-terusan.
Cengkraman bidang pertambangan yang kuat juga tidak terlepas dari adanya sokongan
lembaga keuangan, utamanya bank, dalam memberikan dana ke perusahaan tambang.
Hal ini juga didukung lemahnya regulasi pemerintah daerah dalam kebijakan
penanggungulangan alam wilayah pertambangan selama
ini.
Bahkan jika melihat komoditas impor, sebagian daripadanya
merupakan komoditas yang digunakan dalam kegiatan pertambangan di wilayah
malut. Hal ini seakan memberi kesan bahwa
pertambangan adalah bidang paling berpengaruh dalam neraca perdagangan luar
negeri malut.
Potensi harus
didukung Aksi
Bicara tentang potensi malut pada
bidang pertanian, komoditas kopra adalah salah satu yang harus kita perhatikan.
Pada tahun ini, kopra tidak lagi
diekspor ke luar negri karena eksportir memilih menghentikan aktifitasnya.
Alasan utama nya adalah
karena kualitas kopra malut dianggap belum memenuhi persyaratan pasar dunia. Usia buah kelapa yang terlalu
muda dan cara petani tradisional dalam memproduksi kopra membuat kualitas
produknya turun (Arianti, 2017).
Sementara di bidang perikanan, penggalakan ekspor ikan
langsung dari malut, sudah dimulai melalui dua pelabuhan utama di
Ternate dan Tobelo pada oktober tahun lalu. Hal ini diharapkan makin intensif dilakukan melalui
kerjasama pemerintah daerah malut dengan dinas terkait. Pengusaha
kecil pun harus terus didorong untuk mau dan mampu memasarkan hasil lautnya
langsung dari malut.
Malut sebagai provinsi kepulauan dengan potensi alam
melimpah, layaknya mampu memanfaatkan potensi tersebut untuk pembangunan
wilayah. Potensi yang ada memang tidak bisa mentah-mentah kita manfaatkan.
Butuh aksi nyata pendukung yang kontinyu, baik dari pemerintah maupun dinas
terkait agar potensi malut tidak terus-terusan menjadi hanya sekedar potensi.
(*)
*Telah dipublikasikan di harian Malut Post Edisi Kamis, 19 April 2018
artikel lainnya yang telah dipublikasikan media:
0 komentar:
Post a Comment