|
Bangkit tanpa Bonus Demografi |
Oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST, Fungsional Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara
Ada
pembahasan menarik pada pidato Hari Kebangkitan Nasional pada 20 Mei 2018 lalu.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menyampaikan bahwa pada tahun
2020-2030, Indonesia akan mengalami suatu fenomena kependudukan yang biasa
disebut dengan Bonus Demografi. Namun hal ini ternyata tidak dinikmati merata
di semua wilayah Indonesia. Bahkan, Maluku Utara (Malut) menjadi salah satu
provinsi yang diperkirakan tidak akan
ikut menikmati “bonus” ini.
Definisi Bonus Demografi
Menurut guru besar ekonomi
kependudukan Universitas Indonesia (UI), Sri Moertiningsih Adioetomo, bonus demografi
adalah suatu keadaan dimana rendahnya tingkat ketergantungan masyarakat usia
nonproduktif (dibawah 15 tahun dan diatas 65 tahun) terhadap masyarakat usia
produktif (15 - 64 tahun). Hal ini ditandai dengan bertambahnya jumlah masyarakat
usia produktif, dan tingkat ketergantungan penduduk usia produktif (dependency ratio) berada pada angka
40-50.
Dikatakan sebagai bonus, karena
keadaan ini hanya terjadi satu kali sepanjang sejarah sebuah bangsa, dan tidak
bertahan lama. Karena setelahnya, masyarakat usia produktif akan memasuki masa
usia nonroduktif, dan tingkat ketergantungan
usia produktif akan kembali meningkat.
Adanya bonus demografi bagi
Indonesia merupakan sebuah kesempatan emas. Tingginya jumlah penduduk usia
produktif berpotensi untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan tentunya
dapat memicu perkembangan perekonomian dalam negeri. Tapi hal ini tidak terlepas dari resiko yang harus
ditanggung, jika pemerintah tidak siap menghadapinya.
Peningkatan
jumlah penduduk usia produktif, juga berarti peningkatan jumlah tenaga kerja. Ketersediaan
lapangan kerja yang memadai merupakan salah satu syarat Indonesia dapat memetik
keuntungan dari bonus demografi. Tentu tidak terbayangkan jika tenaga kerja
yang berlimpah justru malah menambah angka pengangguran di Indonesia karena
kurangnya lapangan pekerjaan yang tersedia.
Bonus Demografi di Malut?
Meski secara umum Indonesia akan mengalami
bonus demografi, namun tidak semua wilayah akan menikmatinya. Tercatat sebanyak
enam provinsi diproyeksikan tidak akan menikmati bonus demografi ini. Salah
satunya adalah Maluku Utara.
Pada
tahun 2015, dependency ratio Malut
adalah sebesar 58,5. Artinya setiap 100
orang penduduk usia produktif di Malut, menanggung 58 orang penduduk usia nonproduktif.
Angka ini diproyeksikan akan turun
hingga sebesar 56,0 pada tahun 2020**. Dengan angka ini, Malut masih belum bisa
menikmati bonus demografi pada tahun 2020 nanti.
Ada
beberapa hal yang menjadi penyebab utama dari ketiadaan bonus demografi di Malut.
Yang pertama adalah angka kelahiran di malut yang masih cukup tinggi.
Perwakilan BKKBN malut menyatakan bahwa angka kelahiran Malut pada tahun 2016
adalah sebesar 2,7 persen (Antara, 2017). Angka ini masih jauh dari target
pertumbuhan seimbang di tahun yang sama sebesar 1,1 persen.
Penyebab
lainnya adalah, tren merantau. Banyak masyarakat
Malut yang lebih memilih bersekolah dan mencari pekerjaan di luar Malut. Hal
ini, selain karena terbatasnya perguruan tinggi terakreditasi di Malut, juga didukung
stigma masyarakat bahwa mengenyam pendidikan dan bekerja di luar Malut, lebih
bonafit. Akibatnya, jumlah tenaga kerja
usia produktif di Malut kian berkurang.
Bangkit tanpa Bonus
Ketiadaan bonus demografi bagi malut
di 2020 nanti, tidak lantas harus menjadi alasan bagi malut untuk merasa tertinggal.
Justru, sekarang saat terbaik bagi malut untuk mencuri ‘start’, agar mampu mengejar, sekaligus menghadapi kondisi bonus
demografi nasional di dua tahun yang akan datang.
Selain memaksimalkan program keluarga
berencana sebagai bentuk pengendalian utama angka kelahiran, membuka banyak
lapangan pekerjaan yang sesuai dengan struktur masyarakat juga menjadi suatu
urgensi. Jika melihat banyaknya industri kreatif di malut, sesungguhnya masyarakat
tidak pernah kekurangan ide bisnis. Lihat saja usaha tenun tradisional di
Tidore dan berbagai distro serta kafe yang kian menjamur di Ternate.
Pemerintah
daerah bisa mendukung usaha-usaha ini melalui penyuluhan dan pelatihan keterampilan
sesuai dengan jenis usaha. Hal ini sebagai bentuk peningkatan kualitas tenaga
kerja untuk menaikkan daya saing para pekerja. Selain itu, membantu membuka
jalur pemasaran produk-produk lokal ke luar wilayah Malut juga patut dilakukan.
Kesemuanya akan mendorong terciptanya lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi
masyarakat.
Perlu
diingat bahwa produk perekonomian tidak selalu berupa barang. Bidang pariwisata
Malut masih menyimpan banyak potensi yang belum dimaksimalkan. Jenis usaha di
bidang ini justru biasanya lebih diminati dan dikuasai oleh fresh graduate. Sehingga pengembangannya
tentu akan menarik minat, dan menyerap banyak tenaga kerja pada penduduk usia
produktif.
Jika
upaya-upaya diatas mampu berjalan, maka Malut tidak perlu khawatir dengan
ketiadaan bonus demografi. Karena sejatinya, dengan atau tanpa bonus demografi,
semua wilayah memiliki kesempatan yang sama untuk bangkit. Kuncinya adalah
sejauh mana kita dapat memaksimalkan potensi wilayah untuk menutupi
kekurangannya.(*)
** Berdasarkan proyeksi SP2010
Telah dipublikasikan di harian Malut Post edisi Rabu, 6 Juni 2018
0 komentar:
Post a Comment