Linting Rokok Dalam Kemiskinan



Linting Rokok dalam Kemiskinan

Oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST, Fungsional Statistisi pada Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara


Tema kemiskinan memang tidak pernah kadaluarsa untuk dibahas. Pun jika digali lebih dalam, justru akan muncul fenomena-fenomena yang tidak kalah menarik untuk diperbincangkan, atau seringnya, dipertanyakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Maret 2018, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 25,95 juta orang, menurun dari September 2017 yang lalu.
Beberapa komoditas disebut mempunyai pengaruh besar dalam garis kemiskinan, seperi Beras, Rokok, telur ayam ras, dll. Kemunculan rokok sebagai penyumbang terbesar nomor dua, memunculkan beberapa pernyataan dan kesimpulan yang saling berlintangan. Ada yang beranggapan, rokok menyebabkan kemiskinan. Tapi ada juga yang mengkritisi bahwa rokok seharusnya tidak ikut diperhitungkan dalam komoditas perhitungan garis kemiskinan.


 Antara Konsumsi dan Gaya Hidup
            Harus kita akui, bahwa konsumsi rokok di Indonesia sudah menjadi gaya hidup tersendiri. Tua, muda, kaya, miskin, lelaki ataupun perempuan, tidak satupun rasanya golongan yang tidak tersentuh rokok. Segala kerugian dan dampak rokok bagi kesehatan sebenarnya sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Tembakau  bertanggung jawab untuk lebih dari 30 penyakit menurut WHO. Namun hal ini tidak menyurutkan minat masyarakat dalam mengkonsumsi rokok.
            Selama ini, regulasi pemerintah  terkait rokok hanya berkutat pada pelarangan iklan rokok, pemasangan gambar ‘mengerikan’ pada kotak rokok, dan penentuan harga eceran terendah. Yang terakhir disebut pun, sesungguhnya lebih bertujuan kepada pencegahan rokok ilegal yang beredar. Selain itu, sejak 1 januari 2018, cukai rokok dinaikkan menjadi 10,04 persen. Beberapa analis menilai, kenaikan cukai rokok yang menggiring kenaikan harga rokok, akan mengurangi konsumsi rokok di masyarakat.
            Fakta di lapangan, memang harga rokok mengalami kenaikan yang terus menerus. Rokok kerap menjadi salah satu komoditas penyebab inflasi. Data Susenas maret 2018 menunjukkan, jumlah pengeluaran penduduk untuk rokok mengalami kenaikan. Hal ini bisa jadi mengindikasikan bahwa konsumsi rokok masyarakat tetaplah sama, dan masyarakat rela merogoh kocek lebih dalam. Namun, hal ini tentunya masih harus diteliti dan dikaji lebih dalam untuk bisa menarik kesimpulan yang tepat.


Memaknai Komoditas Penyumbang Kemiskinan
            Kemiskinan, dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (GK). GK Indonesia pada Maret 2018 adalah sebesar Rp 401.220. Maluku Utara (Malut) sendiri memiliki GK diatas nasional yaitu sebesar Rp 412.266. Angka ini menunjukan minimum pengeluaran rata-rata tiap orang untuk memenuhi kebutuhannya dalam sebulan, baik makanan maupun non-makanan.  Maka, setiap penduduk Malut yang memiliki rata-rata pengeluaran bulanan dibawah angka tersebut, dikategorikan sebagai penduduk miskin.
            Perihal mengapa rokok dimasukkan ke dalam konodits yang ditetapkan,  Kepala Subdirektorat Statistik Kerawanan Sosial BPS , Ahmad Avenzora megatakan, ini disebabkan konsumsi rokok di masyarakat Indonesia cukup tinggi. BPS sendiri menggunakan metode arus utama yang banyak digunakan negara-negara berkembang untuk mengukur kemiskinan, yaitu konsep kebutuhan dasar. Konsep tersebut mengukur komoditas-komoditas yang banyak dikonsumsi. (kabarbisnis.com, 2018)
            Pada GK nasional, rokok memiliki andil  sebesar 11,07 persen di perkotaan, dan 10,21 persen di pedesaan. Penyebutan angka inilah yang kemudian menjadi polemik karena cenderung diartikan secara vulgar, bahwa konsumsi rokok menyebabkan penduduk menjadi miskin dengan andil sekian persen. Padahal, Angka ini sebenarnya menunjukkan, bahwa sebesar 11,07 persen dan 10,21 persen dari rata-rata pengeluaran penduduk miskin di perkotaan dan pedesaan, dihabiskan untuk konsumsi rokok.
            Analoginya, Seseorang yang sudah dikategorikan miskin dan hanya memiliki uang lima puluh ribu, bisa saja memilih antara membeli sebungkus nasi ayam atau sekotak rokok.  Apapun yang dipilih, dia tetap dikategorikan miskin. Maka perkara rokok dalam kemiskinan bukanlah dalam posisi sebab dan akibat. Melainkan lebih kepada gambaran kemana pengeluaran penduduk miskin lebih banyak dihabiskan.
            Maluku Utara pun senada dengan nasional. Sementara komoditas beras menjadi komoditas penyumbang terbesar pertama, rokok juga menjadi komoditas penyumbang terbesar berikutnya. Di Malut, rokok meyumbang 11,98 persen pada garis kemiskinan di perkotaan dan menyumbang sebesar 9,50 persen di pedesaaan.


Konsumsi adalah Pilihan
            Jika bisa memilih, tidak ada satupun individu yang ingin dikategorikan sebagai penduduk miskin. Miskin bukanlah pilihan. Namun konsumsi adalah pilihan. Apa yang kita pilih untuk kita konsumsi sehari-hari sesungguhnya adalah pilihan berdasarkan kebutuhan dan prioritas kita. Miris memang jika nyatanya penduduk miskin lebih bersedia menghabiskan pengeluarannya untuk rokok dibanding bahan makanan sehari-hari. Perubahan mindset dan pola konsumsi masyarakat inilah yang  seharusnya segera didorong untuk dibenahi.
Maka, dibanding menyebut rokok sebagai penyebab kemiskinan, akan lebih tepat jika menganggap rokok sebagai komoditas yang cukup banyak dikonsumsi penduduk miskin. Pun jika ada mitigasi yang ingin dilakukan, tentu tidak ada yang lebih baik dari kesadaran masyarakat, baik kategori miskin ataupun tidak, untuk menghentikan atau minimal mengurangi konsumsi rokok.(*)
           



*Telah Dipublikasikan pada Harian Malut Post Edisi Sabtu, 21 Juli 2018



Artikel Lainnya :




Thank You for Reading My Blog!

Kalau tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke siapapun yang kalian pikir perlu ikut membaca :)

Comments

1 komentar:

  1. Thankyou for taking the time to write this it was a great read. Good job! PuffingBird.com

    ReplyDelete