Oleh : Khairiyah
Rizkiyah, SST, Fungsional di Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara
Bukan
lagi resep lama, bahwa pemuda adalah aset sebuah bangsa. Bonus demografi yang yang akan kita nikmati puncaknya di 2030, merupakan masa dimana
jumlah penduduk kelompok usia muda berlimpah ruah. Gold period, yang hanya
hadir sekali dalam sejarah sebuah bangsa.
Namun anugrah tersebut akan berbalik menjadi
bencana, jika kita gagal membentuk generasi
muda yang berkualitas, yang tidak hanya menang kuantitas.
Pemuda
memang bukan jembatan yang bisa kita pijak, bukan pula gedung perkantoran yang
bisa kita tempati. Pemuda bukan aset kasat mata yang bisa kita rasakan
kemanfaatannya secara langsung.
Tapi,
pemudalah yang nantinya mampu membuat jembatan-jembatan kita dilewati ber
ton-ton pasokan bahan makanan ke seluruh negeri. Pemuda juga yang akan membuat
gedung perkantoran kita nantinya penuh hiruk-pikuk optimisme, kesempatan dan kreativitas
tanpa batas untuk peningkatan kesejahteraan bangsa.
Tidak
ada aset yang terlahir langsung berharga. Aset haruslah dibentuk, dan dibangun.
Begitupun dengan pemuda. Hanya dengan mengelu-elukan “yang muda yang berkarya”,
tidak lantas menjadikan pemuda langsung sukses menelurkan karyanya.
Selama
ini, pembangunan pada tingkat pemuda masih kerap dipandang sebelah mata. Hingga
tahun lalu, Indonesia bahkan masih belum memiliki gambaran utuh kondisi pemuda
dalam negeri.
Potret
Pemuda Indonesia
Tahun
ini, Badan perencanaaan pembangunan nasional (Bappenas), bekerja sama dngan
Badan Pusat Statistik (BPS) dan United
Nation Population Fund (UNFPA) untuk mengembangkan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP)
2017.
IPP
memotret kondisi pemuda Indonesia (16 – 30 tahun) dalam lima domain dasar,
yakni Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan, Lapangan dan Kesempatan Kerja,
Partisipasi dan Kepemimpinan, serta Gender dan Diskriminasi.
Laporan
IPP yang dihitung selama 2015 – 2016 menunjukkan,
Indonesia memiliki skor IPP sebesar 50,17 pada tahun 2016. Ini meningkat dari
tahun sebelumnya yang sebesar 47,33. Dari lima domain dasar, Pendidikan menempati
urutan tertinggi dengan skor 63,33. Skor terendah terdapat pada domain Lapangan
dan Kesempatan Kerja yakni sebesar 40,00.
Dari
segi kewilayahan, tercatat lima belas provinsi memiliki IPP diatas nasional. Provinsi
D.I Yogyakarta memiliki IPP tertinggi dengan nilai 64,67. Sementara IPP
terendah berada di Kalimantan Selatan dengan nilai 45,83.
Skor IPP tidak dimaksudkan untuk
mengevaluasi pencapaian kinerja pemerinatah dalam bidang kepemudaan. Namun IPP
adalah gambaran awal untuk mngetahui kondisi pemuda kita, lengkap dengan
potensi dan kelemahannya.
Optimalnya
domain Pendidikan di Indonesia, menunjukkan pembangunan di bidang ini telah
berada pada jalur yang tepat. Namun, rendahnya domain Lapangan dan Kesempatan
kerja, membutuhkan lebih dari sekedar akselerasi.
Pada domain ini, indikator yang
digunakan memang masih sedikit, yakni angka pemuda wirausaha dan tingkat pengangguran
terbuka pemuda. Namun hal ini selayaknya menjadi early warning, bahwa masih
belum banyak pemuda kita yang bekerja dan atau belum mampu membuka lapangan
pekerjaan sendiri.
Kurangnya kepercayaan investor pada
wirausaha muda seringkali menjadi penyebab utama beratnya pemuda mencipta
lapangan kerja. Proses perbankan yang cukup rumit, ditambah persyaratan tentang
anggunan, banyak menghentikan niatan pemuda untuk bisa berwirausaha.
Pemuda
Maluku Utara
Karakteristik
masyarakat wilayah Maluku Utara (Malut) memang masih kental dengan rasa kekeluargaan
yang khas. Para pemuda, aktif dan mengambil peran kepemimpinan dalam berbagai
kegiatan masyarakat. Hal ini dapat terlihat keterlibatan pemuda pada kegiatan sosial,
maupun pagelaran seni yang diadakan. Tidak heran jika Malut mencatat IPP sebesar
54,67, menempati peringkat 6 nasional.
Domain tertinggi pembangunan pemuda di Malut, ada pada
Pendidikan, serta Kesehatan dan Kesejahteraan dengan skor domain masing-masing
sebesar 70. Meski demikian, domain Gender dan Diskriminasi di Malut masih memiliki skor yang rendah yaitu 36,67 persen, dibawah rata-rata
nasional yang sebesar 43,33 persen.
Pada domain ini, memang telah terdapat
penurunan kehamilan remaja dari 11 persen menjadi 4 persen. Namun di sisi lain,
perkawinan usia anak meningkat dari 20 persen menjadi 23 persen pada 2016.
Perkawinan
usia anak erat kaitannya dengan pendidikan pemuda perempuan. Kecenderungan yang
selalu terjadi adalah, terputusnya pendidikan pemuda perempuan setelah
melangsungkan perkawinan. Hal ini memberi efek domino pada terputusnya
kesempatan dan lapangan pekerjaan bagi para pemuda perempuan.
Secara
nasional, domain Lapangan dan Kesempatan Kerja harus segera menjadi perhatian. Jika
tidak, puncak bonus demografi di Indonesia justru akan berbalik meningkatkan
jumlah pengangguran. Bagi Malut, pengendalian perkawinan anak bisa menjadi
titik awal pembangunan pemuda kita, meski bukan berarti menjadi program
satu-satunya.
Pada
akhirnya, diatas semua program dan kebijakan, baik pemerintah dan masyarakat
harus sama-sama memberikan dukungan, kesempatan dan kepercayaan kepada pemuda, untuk
terus tumbuh dan berkembang pada porsinya. Karena belasan tahun dari sekarang,
merekalah yang akan mendominasi negeri kita.(*)
*Telah dipublikasikan pada Harian Malut Post Edisi Selasa, 28 Agustus 2018
Mantap, Bu.. Hajar terus...
ReplyDeletehehehe terima kasih mas.. berusaha produktif nih :))
Delete