Impor Bunuh Diri?



oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST
Fungsional di BPS Provinsi Maluku Utara
Pada konferensi pers di pertengahan Agustus 2018 lalu, BPS mencatat defisit transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD)  Juli 2018 senilai US$8,16 miliar. Angka ini merupakan akumulasi CAD yang telah terjadi sejak triwulan I-2018 sebesar US$3,85 miliar, dan triwulan II-2018 sebesar US$ 4,3 miliar.

Padahal, pada periode yang sama di tahun lalu, neraca pembayaran mengalami surplus sebesar US$ 5,25 milliar. Naiknya CAD ini menjadi yang keempat kalinya terjadi sepanjang tahun 2018. Fenomena ini kemudian mendorong berbagai pihak menaruh perhatian besar pada kondisi  impor nasional.



Defisit dan Impor

            Kepala BPS RI Kecuk Suhariyanto mengatakan, peningkatan CAD selain disebabkan industri dalam negeri yang  ‘libur’ saat lebaran, dipengaruhi pula oleh impor barang modal dan bahan baku industri yang meningkat. Menurutnya, pemerintah mungkin bisa lebih jeli memilah jika ada bahan baku yang diproduksi dalam negeri sehingga bisa mengurangi impor.

Menyikapi CAD yang terus membengkak, pemerintah kemudian membuat empat kebijakan. pertama, pengendalian impor proyek  infrastruktuktur, khususnya pada PT. PLN dan Pertamina. Kedua, meminta berbagai pihak mencari barang subtitusi dalam negeri untuk semua barang konsumsi dan bahan baku impor. Ketiga, mendorong ekspor dari sisi pembiayaan, kebijakan insentif, dan kemampuan untuk penetrasi pasar. Keempat, penggunaan biodiesel (program B20) untuk menekan impor migas  (tirto.id, 2018).

Usaha pemerintah menekan CAD memang lebih berfokus pada pengendalian impor. Hal ini kemudian membuat setiap keputusan impor pemerintah tahun ini, terus-terusan menuai banyak komentar. Dimulai dari impor beras di awal tahun 2018 sebanyak 500.000 ton, impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton, dan yang baru-baru ini sedang hangat diperbincangkan, impor gula mentah sebanyak 3,6 juta ton.

Banyaknya pro kontra terkait impor memang wajar terjadi. Selain demi mengurangi CAD, berbagai pihak menilai impor merugikan petani lokal. Kebijakan impor, dianggap merupakan langkah bunuh diri. Meski pemerintah mempunyai hak penuh memutuskan, pemerintah juga mempunyai kewajiban melindungi produsen maupun petani lokal. Kebijakan impor tanpa regulasi dan pengendalian yang ketat, tentu akan menjadi kesalahan yang fatal.

Terlepas dari semua pro kontranya, perlu dipahami bahwa impor tidak semata-mata hanya tentang barang konsumsi. Faktanya, impor terbesar negara kita justru didominasi oleh mesin dan bahan baku industri. Sepanjang tahun 2018, tercatat sumbangan terbesar impor adalah berasal dari kelompok mesin dan pesawat mekanik sebesar US$15,2 miliar, menyusul kelompok mesin dan peralatan listrik sebesar US$ 12,2 miliar. Sementara, kelompok gula dan kembang gula yang ‘hanya’ sebesar US$ 1,15 miliar (BPS, 2018).

Artinya, jika pengendalian impor ditujukan untuk menggurangi CAD ataupun defisit neraca perdagangan, maka pemilahan impor barang konsumsi, menjadi langkah yang kurang signifikan. Sebaliknya, jika ingin melindungi produsen lokal, justru pengereman impor bahan baku atau barang modal akan menjadi bumerang.

 Garam industri misalnya.  Garam ini belum dapat dipasok sendiri oleh petani lokal. Hal ini terkait ketebatasan lahan, modal dan cuaca dalam negeri. Padahal, garam industri banyak dipakai untuk industri farmasi, perminyakan tekstil dan sabun. Menutup keran impor garam industri misalnya, justru akan menjadi langkah bunuh diri.





Impor bukan untuk dimatikan

            Keberadaan impor sejatinya tidak bertujuan mematikan pihak manapun, sehingga impor sendiri tidak perlu sampai harus dimatikan. Impor, hanya butuh dikendalikan. Perlu kehati-hatian pemerintah untuk menjaga impor terutama bahan baku dan barang modal. Karena hal ini  berdampak langsung pada peningkatan produktivitas industri yang nantinya mampu mengundang investasi.

Pada impor,  kita tidak hanya berbicara tentang  garam untuk masak atau gula untuk kopi kita. Impor juga mencakup berbagai komoditas lain penggerak perekonomian, terutama bahan baku dan barang modal industri yang belum mampu diproduksi dalam negeri. Menghentikan impor jenis ini, justru bisa jadi malah mematikan industri dalam negeri. Impor sendiri tentunya harus disertai regulasi dan pengendalian nyata, bukan cuma tertuang dalam peraturan semata.

            Defisit neraca pembayaran, secara sederhana bisa dianalogikan dengan lebih besarnya pengeluaran (pembayaran pendapatan primer)  daripada pemasukan (penerimaan pendapatan primer). Dalam keadaaan demikian, kita seringkali otomatis merasa perlu untuk  ‘berhemat’. Tidak heran dari empat kebijakan pemerintah menyikapi CAD, tiga diantaranya masih berbicara tentang pengendalian impor.

Namun, jika kedepannya menekan pengeluaran sudah tidak dimungkinkan lagi, maka opsi lainnya tentu adalah dengan menambah ‘pemasukan’. Alih-alih sedapat mungkin menekan impor, tidak ada salahnya bagi pemerintah untuk mulai mengintervensi lebih jauh dalam mendukung peningkatan ekspor.(*)



*Telah dipublikasikan pada Harian Malut Post Edisi Rabu, 5 September 2018






Artikel Lain :




Thank You for Reading My Blog!

Kalau tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke siapapun yang kalian pikir perlu ikut membaca :)

Comments

1 komentar:

  1. Yes, mainly Asian-based live on line casino 클레오카지노 table suppliers such as Asia Game Tech present tables where the croupier is fluent in Filipino. People within the Philippines are in on line casino heaven, and in live on-line on line casino heaven specifically. The majority of individuals within the Philippines are both Christian or non-religious which means there aren't any limitations to them playing occasion that they} choose to take action, and playing on-line. Only six p.c of the population are muslim and subsequently not allowed to playing.

    ReplyDelete