Tarif Penerbangan yang Mengecoh



(Sumber: https://koran-jakarta.com)

Oleh : Khairiyah Rizkiyah, SST


Bulan ini publik dihebohkan dengan penghapusan bagasi gratis dari dua maskapai low cost carrier (LCC). Bagaimana tidak, penghapusan ini dibarengi dengan kenaikan tinggi tarif maskapai. Alasannya, selama ini maskapai sudah menanggung beban operasional yang kian tak tertahankan.
Awal kehebohan sebenarnya dimuai saat rilis kebijakan dua maskapai LCC pada 8 Januari 2019 lalu. Pada pengumuman tersebut disampaikan tentang penghapusan free baggage untuk kedua maskapai yang masing- masing sebesar 20 kg dan 10 kg. Hal ini kontan menuai banyak protes, khususnya bagi para konsumen.
Namun yang lebih mengejutkan terjadi justru beberapa saat setelah pengumuman, maskapai lain berbondong-bondong menaikkan tarifnya, bahkan hingga 100 persen. Ini membuat banyak konsumen terkejut dan memprotes habis-habisan. Berbagai petisi dilayangkan. Bahkan muncul fenomena membuat paspor untuk penerbangan transit melalui luar negeri demi mendapat harga tiket yang lebih murah.
Protes ini sekilas seperti membuahkan hasil karena beberapa saat kemudian, Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (Indonesia National Air Carriers Association/ INACA) menyatakan anggotanya telah bersepakat untuk menurunkan harga tiket pesawat terbang sekitar 20–60 persen.
INACA sendiri beranggotakan berbagai perusahaan maskapai domestik seperti Garuda Indonesia, Sriwijaya Air , dan Indonesia AirAsia. Disampaikan pula bahwa pada awalnya hanya beberapa rute penerbangan yang akan mengalami penurunan seperti Jakarta–Denpasar, Jakarta–Yogyakarta, Jakarta–Surabaya, dan Bandung–Denpasar. Selanjutnya, rute lain meliputi Jakarta– Padang, Jakarta–Pontianak, Jakarta–Jayapura pun akan dilakukan penurunan.
Sementara itu, rute yang tidak tercakup, mungkin harus menunggu jauh lebih lama atau malah tidak akan ada penurunan sama sekali. Rute Jakarta–Ternate, misalnya tidak disebut akan dicakup. Maskapai LCC rute ini sebelumnya menetapkan tarif penerbangan langsung sekitar 800 ribu rupiah dengan free baggage.
Tarif tersebut kemudian mengalami kenaikan hingga 1,9 juta rupiah. Sementara itu, maskapai lain yang termasuk dalam kelompok pelyanan full service pada rute yang sama, naik hingga 3,9 juta, dengan tarif awal sebesar 1,6 juta rupiah. Setelah INACA beberapa waktu lalu sepakat menurunkan harga, tarif maskapai LCC untuk rute tersebut turun menjadi 1,4 juta.
Artinya, meski mengalami penurunan harga hingga 26 persen, sebenarnya tetap terjadi kenaikan tarif sekitar sekitar 44 persen dari semula. Sedangkan tarif maskapai full service yang telah naik hingga 3,9 juta rupiah, maupun maskapai medium services tidak mengalami penurunan tarif sama sekali.
Usut punya usut, rupanya kenaikan ini sudah digadang akan terjadi sejak tahun lalu. Pada Agustus 2018, Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, sudah menyampaikan kenaikan tarif batas bawah (TBB) tiket maskapai. TBB yang tadinya sebesar 30 persen naik menjadi sebesar 35 persen atau naik sebesar 5 persen.
Hal inilah yang seakan “mengizinkan” maskapai untuk ikut menaikkan tarifnya. Komponen bahan bakar, menyumbang setidaknya 40 persen pengeluaran maskapai. Kenaikan avtur yang mencapai 40 persen dari tahun 2016 hingga Mei 2018, dinilai oleh INACA sudah sangat membebani biaya operasional.
Sedangkan sepanajng periode tersebut tidak ada kenaikan tarif penerbangan domestik. Kenaikan tarif bawah ini sebenarnya masih lebih rendah dibandingkan dengan permintaan INACA, yakni sebesar 10 persen. Keputusan ini sekaligus mengevaluasi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 14/2016 tentang Mekanisme Formulasi Perhitungan dan Penetapan TBA dan TBB Penumpang Pelayanan Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri yang tadinya mencantumkan TBB sebesar 30 persen.
Kenaikan harga bahan bakar avtur dunia diperparah dengan lemahnya rupiah di pasar asing. Hal ini menyebabkan harga avtur di Indonesia lebih mahal dari negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Kebijakan bagasi berbayar maupun kenaikan tarif, dianggap menjadi langkah terbaik untuk menyelamatkan neraca pengeluaran maskapai yang sudah menahan beban operasional dua tahun terakhir.

Mengecoh
Bagai buah simalakama, konsumen pesawat terbang komersial kini tak lagi punya pilihan. Kehebohan yang awalnya hanya tentang penghapusan free baggage maskapai LCC justru berujung pada kenaikan tarif semua maskapai di hampir seluruh rute. Komisi Pengawasan dan Persaingan Usaha (KPPU) bahkan memasukkan ini sebagai dugaan kartel maskapai.
Kesepakatan penurunan tarif penerbangan domestik pun seakan hanya mengecoh. Ini mirip seperti konter ritel yang memajang pengumuman sale 50 persen dari harga item yang sebelumnya sudah dinaikkan 100 persen. Bahkan ujaran Menhub untuk agar “mengiklaskan” kenaikan tarif penerbangan domestic, seakan memastikan bahwa kenaikan sudah tak dapat dihindari.
Memang, sejujurnya kenaikan avtur tidak hanya berimbas di Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia lain. Namun, entah kenapa jika diamati, tarif penerbangan dengan transit luar negeri justru lebih murah daripada penerbangan langsung domestik. Terkait bagasi berbayar, sebenarnya kebijakan ini sudah banyak diterapkan di negara lain di dunia.
Kehebohan bagasi berbayar saat ini sejatinya bentuk ‘kehilangan’ para konsumen atas produk yang selama ini didapat gratis, namun kini harus mereka bayar dengan tarif tertentu Di sisi lain, kenaikan drastis dari tarif penerbangan domestik menciptakan semacam syok inflasi (inflationary shocks) yang biasanya mengarah pada rendahnya daya beli (low purchasing power).
Namun hal ini terlalu dini untuk disimpulkan. Perlu analisis lebih lanjut dari data terbaru penumpang setelah kebijakan efektif berlaku. Sementara itu, suka tidak suka, harga tiket sudah naik. Apa pun efek domino dari kenaikan ini nantinya, seyogianya pemerintah, pebisnis maupun masyarakat mampu mempersiapkan diri untuk beradaptasi dan bukan sekedar menyerah menghadapi. 

Thank You for Reading My Blog!

Kalau tulisan ini bermanfaat, silahkan bagikan ke siapapun yang kalian pikir perlu ikut membaca :)

Comments

2 komentar: