Hello There, I'm Riry!
Selamat datang di tempat saya bercerita tentang dunia tulis menulis, beasiswa, kuliah, perjalanan, dan pemikiran (saya). Welcome, and Happy Reading!
Selamat datang di tempat saya bercerita tentang dunia tulis menulis, beasiswa, kuliah, perjalanan, dan pemikiran (saya). Welcome, and Happy Reading!
Pemboikotan
terhadap Facebook oleh beberapa korporasi bisnis di dunia internasional,
mencuri sedikit perhatian akhir-akhir ini. Setelah Unilever, The North
Face,dan Coca Cola, kini Starbucks pun
memastikan akan melakukan penghentian iklan berbayar di Facebook. Alasannya?
kecewa dengan penanganan ujaran kebencian yang
dianggap tidak maksimal. Meski tidak ada dasar dan indikasi dari para
pengusaha di Indonesia akan melakukan hal yang sama, namun sepatutnya kita
memeriksa kembali hakikat media sosial bagi bisnis di Indonesia.
“Shifting”
Media Sosial
Media
sosial adalah sebuah media daring dimana penggunanya dapat berpartisipasi untuk
berkomunikasi maupun membangun jejaring sosial. Mudahnya, media sosial adalah
alat untuk bersosialisasi. Media sosial menjadi sebuah dunia sendiri, dimana
penggunanya dapat dengan leluasa membuat dan membagi berbagai hal dalam bentuk tulisan,
gambar atau rekaman yang mereka inginkan untuk dilihat pengguna lain.
Namun
seiring terjadinya shifting atau
pergeseran dari dunia nyata ke dunia digital, media sosial tidak lagi digunakan
sekedar untuk membangun jejaring pribadi. Media sosial kini juga digunakan untuk
membangun jejaring bisnis. Strategi bisnis menggunakan media sosial kini bahkan
menjadi salah satu aktivitas utama untuk proses pengenalan produk alias branding kepada konsumen, dan terbukti
secara ilmiah mampu meningkatkan kesadaran serta membangun reputasi brand.
Beberapa
penelitian ilmiah lain juga membuktikan, bahwa pemasaran produk di media sosial
secara signifikan meningkatkan kemungkinan seorang pengguna untuk membeli sebuh
produk. Semakin sering seseorang melihat sebuah produk disukai atau dibagi pada
halaman media sosialnya, maka keinginannya untuk membeli produk tersebut
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan, tanpa disadari pengguna mengindikasikan
banyaknya jumlah disukai dan dibagi sebagai indikasi reputasi yang bagus pada
produk tersebut.
Facebook
juga menjadi salah satu media sosial yang digunakan dalam strategi bisnis
banyak perusahaan nasional maupun internasional. Pada tahun 2016, Facebook
sudah mencatat pengguna aktif sebanyak
1,79 miliar per bulannya. Indonesia menempati urutan keempat penggunanya dengan
lebih dari 50 juta pengguna. Angka ini
kurang lebih sekitar 20.94% populasi Indonesia. sementara untuk Twitter,
Indonesia tercatat peringkat keenam dengan jumlah pengguna terbanyak, yaitu
sebesar 30 juta pengguna.
Angka-angka
diatas menunjukkan seberapa banyak konsumen yang bisa dicapai sebuah produk
atau bisnis dengan hanya menekan satu
tombol iklan di media sosial. Bayangkan, dalam satu detik, produk bisnis anda
mampu ditampilkan di hadapan sekian puluh juta orang secara bersamaan. Iklan di
media sosial bahkan bisa didesain pengirimannya agar sesuai dengan karakteristik target konsumen. Misalnya
berdasarkan kategori umur, jenis kelamin, lokasi dan waktu penayangan iklan
yang tepat.
Dibalik
kehebatannya, media sosial juga menyimpan duri yang tidak bisa dihindari.
Seringkali orang berkata media sosial bagai pisau bermata dua, yang jika
digunakan dengan tepat maka bisa menghasilkan hidangan lezat, namun jika
digunakan dengan salah, maka akan timbul korban. Hal inilah yang kini kerap
terjadi akhir-akhir ini, dimana ujaran kebencian tentang ras, agama dan
berbagai hal lainnya ditumpahkan di media sosial tanpa bisa ditahan.
Aksi boikot perusahaan-perusahan besar yang kini menjadi berita, merupakan bentuk
protes perusahaan-perusahaan tersebut terhadap Facebook yang dinilai tidak
mampu mengatasi ujaran kebencian di platform
nya. Sekelompok pembela hak asasi manusia di Amerika juga menjalankan
kampanye bertajuk “Stop Hate for Profit”
yang mengajak perusahaan-perusahaan untuk melakukan protes serupa terhadap
Facebook. Facebook dinilai dengan sengaja memilih untuk tidak menangani ujaran
kebencian demi profit penggunaanya.
Media Sosial dan Pengguna
Bagi
para pengusaha Indonesia, aksi boikot diatas tentunya ini tidak perlu dijadikan
pedoman bisnis. Terlebih di tengah pandemik seperti sekarang, media sosial justru
adalah salah satu panggung terkuat untuk memasarkan produk bisnis. Bahkan kini, makin marak e-commerce ataupun usaha rumahan yang
memasarkan produknya melalui berbagai media sosial baik Facebook, Instagram
maupun Twitter.
Anjuran
untuk tetap berada di rumah, lalu kini social
distancing, mendorong belanja daring menjadi primadona. Survei Sosial
Demografi Dampak Covid-19 oleh BPS menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas
belanja daring selama pandemik. Peningkatan ini, secara proporsi didominasi
oleh generasi yang lebih tua (baby boomers),
namun secara jumlah atau kuantitas barang, generasi yang lebih muda (milenial) tetap menjadi juara.
Hasil
survei yang sama juga menunjukkan para penjual atau retailer mengalami kenaikan penjualan rata-rata sebesar 50%. Bahkan
di era normal yang baru seperti sekarang, melakukan aktivitas pembelian secara
daring nampak masih menjadi pilihan utama sebagian besar masyarakat. Maka
pemasaran produk bisnis lewat media sosial justru kini menjadi peluang yang lebih
menguntungkan.
Sementara
terkait ujaran kebencian di media sosial, Indonesia seperti lebih didominasi
oleh warna politik dalam negeri. Mungkin karena pada dasarnya Indonesia adalah
negara dengan beraneka ragam suku, bangsa, adat dan bahasa, rasisme tidak
pernah bisa lama-lama atau terlalu frontal dinyatakan, pun kasusnya tidak
pernah sampai memengaruhi keputusan bisnis terlalu jauh. Paling-paling, politik
lagi.
Dan
tentu benar adanya, untuk media sosial skala raksasa seperti Facebook,
pengelola memiliki tanggung jawab di dalamnya. Namun hal yang juga patut
disadari, bahwa sebuah ujaran kebencian dan efek negatif yang menyertainya,
pada hakikatnya adalah tanggung jawab sepenuhnya dari si pelaku. Jika ada hal
paling penting yang patut dibenahi dari munculnya sebuah ujaran kebencian, maka
itu adalah kesadaran diri dari pelaku itu sendiri.
Ibarat
sebuah jalan raya dimana banyak pengendara yang bertingkah seenaknya, maka
pelarangan penggunaan kendaraan oleh si pemilik pabrik kendaraan saja tidak
akan mampu menyelesaikan permasalahan. Para pengendara harus diberi sanksi
tegas dan diberi pemahaman mendalam akan bahaya yang ditimbulkan bagi dirinya
dan orang lain. Sayangnya permasalahan ujaran kebencian tidaklah sesederhana
itu.
Munculnya
ujaran kebencian tidak sekedar ada karena media sosial mengizinkan pengguna
untuk menuliskannya. Ujaran kebencian ada karena memang ada kebencian di dunia
nyata yang tidak terselesaikan. Maka akar permasalahan bisa jadi bukanlah peraturan
media sosial yang longgar, namun lebih kepada pengguna yang tidak bertanggung
jawab. Inilah permasalahan sosial yang patut diselesaikan terlebih dahulu. Sementara
media sosial, bagaimanapun, hanyalah sebuah alat.(*)
Perempuan ibu kota yang suka membaca berbagai buku dan menulis berbagai opini maupun artikel ilmiah. Blog ini adalah tempat saya berbagi hal seputar dunia tulis menulis yang saya sukai, pendidikan yang saya lewati, tempat yang saya kunjungi, dan buku yang saya sukai. Semoga mampu memberi sedikit manfaat bagi siapapun yang mampir!
0 komentar:
Post a Comment